Jumat, 11 Maret 2016

Mahasiswa Indonesia Zaman Sekarang

Sekarang ini mulai bermunculan pertanyaan mengenai tugas dari seorang mahasiswa. Apa betul mahasiswa zaman sekarang masih menjadi agent of changeyang menentukan perubahan bangsa ini beberapa dekade kedepan? Predikat sebagai agen perubahan saat ini perlu dipertanyakan karena mahasiswa yang digambarkan sebagai sosok pemuda, berintelektual, dan kritis sudah luntur dari waktu ke waktu. Mahasiswa saat ini seakan “amnesia” terhadap dirinya dan untuk apa mereka berada di bangku perkuliahan.

Jika membahas mahasiswa saat ini, perlu mengingat seperti apa mahasiswa zaman sebelumnya. Zaman dahulu mahasiswa memang menjadi agen perubahan, tulang punggung pembangun bangsa dan negara untuk perubahan yang lebih baik. Mahasiswa saat itu menjadi mesin penggerak utama dalam kemerdekaan, peralihan orde lama ke orde baru, dan yang terakhir adalah reformasi pada tahun 1998. Mahasiswa zaman sekarang kadang tidak memahami pola pikir mahasiswa pada saat itu. Bahkan muncul celotehan “Untuk apa capek – capek memikirkan negara, kan sudah ada presiden yang mengatur, memikirkan diri sendiri saja sudah pusing.”

Perubahan zaman memang tak bisa dipungkiri menjadi salah satu penyebab utama terbentuknya pola pikir mahasiswa-mahasiswa saat ini. Perjuangan mahasiswa dulu dan sekarang berbeda. Mahasiswa sekarang tidak lagi melawan penjajah atau penguasa orde lama dan orde baru, tapi musuh terbesar saat ini adalah hedonisme dan apatisme. Paham – paham yang semakin menjamur dalam mahasiswa seiring dengan pencarian jati diri mereka di bangku perkuliahan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang masih bingung dengan jati diri mereka. Kebingungan ini yang membuat banyak mahasiswa terjebak dalam hedonisme yang hanya bersenang-senang, hura-hura menjadi masyarakat konsumtif untuk mendapatkan kepuasan dirinya sendiri.

Tidak ada yang salah sebetulnya mencari kesenangan, semua orang membutuhkan hiburan dalam hidupnya asalkan tidak berlebihan. Ada kalanya merasa jenuh dengan hal-hal yang berbau perkuliahan. Namun kejenuhan itu sebetulnya dapat salurkan ke hal yang positif, misalnya  dengan ikut berorganisasi atau UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang ada dikampus maupun luar kampus. Selain menyalurkan minat dan bakat, tentu saja menjadi ajang untuk bersosialisasi. Organisasi juga dapat membentuk pola pikir mahasiswa menjadi lebih kritis karena dalam organisasi mereka akan sering mengikuti diskusi. Manusiawi jika semua orang membutuhkan hiburan tetapi perlu dimengerti juga batas kewajaran dalam mencari kesenangan.

Saat ini terdapat realita yang membudaya dikalangan kaum muda. Perkembangan teknologi yang seharusnya memudahkan mahasiswa untuk mencari isu-isu nasional, malah hanya dimanfaatkan untuk up to datepermasalahan yang bisa dibilang tidak penting. Mahasiswa saat ini jika ditanya, akan lebih mengetahui permasalahan artis-artis daripada permasalahan yang terjadi pada bangsanya. Ironis memang, mahasiswa yang seharusnya lebih peka dan kritis terhadap isu-isu nasional justru malah lebih paham berita-berita yang tidak penting.

Mujtaba Tamami, seorang mahasiswa, Magister Kenotariatan Universitas Padjajaran, memberikan pendapatnya bahwa “Jiwa kritis mahasiswa sekarang sangat kurang. Sebutan mahasiswa sebagai agent of change pada saat ini dirasa kurang pas. Hal ini dibuktikan dari tahun ke tahun minat mahasiswa yang mengikuti organisasi sangat kurang. Banyak faktor penyebab, 1. Pola pikir hedonisme lebih menonjol 2. Tuntutan studi, dimana adanya kewajiban absen 75% hampir di setiap kampus sehingga mahasiswa lebih fokus di bidang akademik daripada organisasi.”

Tuntutan studi yang menjadi kewajiban seorang mahasiswa  memang sudah seharusnya didahulukan. Salah satu kewajiban mahasiswa adalah mengerjakan setiap tugas yang diberikan oleh dosen dengan tepat waktu, karena biasanya akan ada sanksi yang menunggu mereka apabila tugas telat  diserahkan. Ini yang unik pada mahasiswa saat ini, dengan alasan demikian mereka cenderung memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mengerjakan semua tugas mereka agar dikumpulkan tepat pada waktunya. Melalui kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, semua data yang berkaitan dengan informasi apapun tentang tugas mereka. Tidak peduli dengan kebenaran dari data yang mereka peroleh asalkan tugas selesai, hanya dengan empat tombol dalam keyboard komputer, Ctrl + C dan Ctrl + V, tugas mereka selesai. Hal kecil semacam ini yang memudarkan rasa tanggung jawab mahasiswa. Tak seperti media informasi berupa buku, yang sudah jelas terdapat sumber atau penulis yang bisa dipertanggungjawabkan didalamnya. Sangat disayangkan apabila mahasiswa hanya mengandalkan media informasi dengan memanfaatkan layanan internet dalam menyelesaikan tugas atau hanya menggali wawasan mereka. Kecanggihan teknologi yang seharusnya dimanfaatkan untuk mempermudah mereka dalam merangsang pola pikir, malah disalahgunakan.

Iqbal, mahasiswa D3, Teknik elektro dari Politeknik Negeri Bandung memberikan pendapatnya ketika ditanyakan tentang bedanya mahasiswa saat ini dan zaman dulu, “ Kalau dibandingin sama zaman orangtua kuliah dulu, zaman sekarang lebih praktis. Dulu kalau ke kampus harus nunggu lama buat naik bis, kalau sekarang sudah banyak angkot bahkan banyak juga yang pakai motor. Komunikasi bisa langsung telepon, chat atau SMS. Kasihan kan orangtua kita dulu kalo LDR harus menunggu surat berhari-hari cuma buat nanyain kabar (hahaha). Masih banyak kemudahan lain deh kalau dibandingin zaman dulu. Tapi dengan kemudahannya mahasiswa cenderung berfikir praktis, soalnya kita enggak biasa berjuang kayak orangtua kita dulu yang sudah disebutin tadi. Pola hidup juga mempengaruhi pola pikir.”

Kemajuan teknologi dan perkembangan zaman yang memudahkan mahasiswa saat ini membuat pola hidup mereka serba praktis, yang pada akhirnya membuat mereka malas berpikir keras dan berjuang. Pada akhirnya mengikiskan pola pikir kritis yang dibutuhkan agent of change di negeri ini. Jika semua mahasiswa memiliki pola hidup serba praktis tidak menutup kemungkinan, agent of change akan lenyap. Tidak akan adalagi sanjungan bagi mahasiswa dikemudian hari.

Mahasiswa sejatinya bisa lebih cerdas dan bijak dalam menjalankan kewajiban serta hak mereka sebagai “maha”siswa yang berbeda dari peserta didik lainnya dinegeri ini. Ada kepentingan orang banyak yang harus diselesaikan, menunggu munculnya pahlawan baru yang hidup, bukan yang mati. 


Sumber : Ilafi Hijr Hunafa

0 komentar:

Posting Komentar