Semua agama yang ada di muka bumi ini mengajarkan keadilan. Begitu juga dengan Islam. Islam sangat menekankan pentingnya keadilan tersebut, seperti firman Allah pada Surat Al‑Maidah ayat 8, yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Maidah :8)Artinya:
Al-Qur'an, sebagai prinsip‑prinsip dasar atau pedoman moral tentang keadilan tersebut, mencakup berbagai anjuran untuk menegakkan keadilan teologis (agama), ekonomi, politik, budaya, kultural termasuk keadilan gender.[1] Secara diskrit, di dunia ini yang diakui sebagai manusia "lumrah" adalah manusia yang berjenis kelamin laki‑laki dan perempuan. Meskipun menyandang predikat sebagai manusia "lumrah", akan tetapi terdapat ketimpangan di antara keduanya, represi (penindasan) yang sungguh luar biasa. Laki‑laki menguasai perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, ini adalah realitas yang tidak bisa ditolak oleh siapapun.[2]
Perempuan merupakan makhluk lemah lembut dan penuh kasih sayang karena perasaannya yang halus. Secara umum sifat perempuan yaitu keindahan, kelembutan serta rendah hati dan memelihara. Demikianlah gambaran perempuan yang sering terdengar di sekitar kita. Perbedaan secara anatomis dan fisiologis menyebabkan pula perbedaan pada tingkah lakunya, dan timbul juga perbedaan dalam hal kemampuan, selektif terhadap kegiatan‑kegiatan intensional yangbertujuan dan terarah dengan kodrat perempuan.
Adapun pengertian Perempuan sendiri secara etimologis berasal dari kata empu yang berarti “tuan”, orang yang mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar.[3] Namun dalam bukunya Zaitunah Subhan[4]perempuan berasal dari kata empu yang artinya dihargai. Lebih lanjut Zaitunah menjelaskan pergeseran istilah dari wanita ke perempuan. Kata wanita dianggap berasal dari bahasa Sanskerta, dengan dasar kata Wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti yang dinafsuai atau merupakan objek seks. Jadi secara simbolik mengubah penggunaan kata wanita ke perempuan adalah megubah objek jadi subjek. Tetapi dalam bahasa Inggris wan ditulis dengan kata want, atau men dalam bahasa Belanda, wun dan schen dalam bahasa Jerman. Kata tersebut mempunyai arti like, wish, desire, aim. kata want dalam bahasa Inggris bentuk lampaunya wanted. Jadi, wanita adalah who is being wanted (seseorang yang dibutuhkan) yaitu seseorang yang diingini.[5] Sementara itu feminisme perempuan mengatakan, bahwa perempuan merupakan istilah untuk konstruksi sosial yang identitasnya ditetapkan dan dikonstruksi melalui penggambaran.[6] Dari sini dapat dipahami bahwa kata perempuan pada dasarnya merupakan istilah untuk menyatakan kelompok atau jenis dan membedakan dengan jenis lainnya.
Para ilmuan seperti Plato, mengatakan bahwa perempuan ditinjau dari segi kekuatan fisik maupun spiritual, mental perempuan lebih lemah dari laki‑laki, tetapi perbedaan tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam bakatnya.[7] Sedangkan gambaran tentang perempuan menurut pandangan yang didasarkan pada kajian medis, psikologis, dan sosial, terbagi atas dua faktor, yaitu faktor fisik dan psikis.
Secara biologis dari segi fisik, perempuan dibedakan atas perempuan lebih kecil dari laki‑laki, suaranya lebih halus, perkembangan tubuh perempuan terjadi lebih dini, kekuatan perempuan tidak sekuat laki‑laki dan sebagainya. Perempuan mempunyai sikap pembawaan yang kalem, perasaan perempuan lebih cepat menangis dan bahkan pingsan apabila menghadapi persoalan berat.[8]
Sementara Kartini Kartono mengatakan, bahwa perbedaan fisiologis yang alami sejak lahir pada umumnya kemudian diperkuat oleh struktur kebudayaan yang ada, khususnya oleh adat istiadat, sistem sosial‑ekonomi dan pengaruh-pengaruh pendidikan.[9]Pengaruh kultural dan pedagogjs tersebut diarahkan pada perkembangan pribadi perempuan menurut satu pola hidup dan satu ide tertentu. Perkembangan tadi sebagian disesuaikan dengan bakat dan kemampuan perempuan, dan sebagian lagi disesuaikan dengan pendapat‑pendapat umum atas tradisi menurut kriteria‑kriteria, feminis tertentu.
Seorang tokoh feminis, Mansour Fakih mengatakan bahwa manusia baik laki‑laki dan perempuan diciptakan mempunyai ciri biologis (kodrati) tertentu. Manusia jenis laki‑laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (Jawa: kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti, rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui (payudara). Alat‑alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki‑laki dan perempuan selamanya dan tidak bisa ditukar.[10]
Dalam konsep gendernya dikatakan, bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat baik pada kaum laki‑laki maupun perempuan merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural.[11] Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, kasih sayang, anggun, cantik, sopan, emosional atau keibuan, dan perlu perlindungan. Sementara laki‑laki dianggap kuat, keras, rasional, jantan, perkasa, galak, dan melindungi. Padahal sifat‑sifat tersebut merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Berangkat dari asumsi inilah kemudian muncul berbagai ketimpangan diantara laki‑laki dan perempuan.
Konstruksi sosial yang membentuk pembedaan antara laki‑laki dan perempuan itu pada kenyataannya mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan. Pembedaan peran, status, wilayah dan sifat mengakibatkan. perempuan tidak otonom. Perempuan tidak memiliki kebebasan untuk memilih dan membuat keputusan baik untuk pribadinya maupun lingkungan karena adanya pembedaan‑pembedaan tersebut. Berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan tersebut adalah, subordinasi, marginalisasi, stereotipe, beban ganda dan kekerasan terhadap perempuan.[12]
Secara eksistensial, setiap manusia mempunyai harkat dan martabat yang sama, sehingga secara asasi berhak untuk dihormati dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya. Secara mendasar, Hak Asasi Manusia meliputi, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, hak untuk memiliki sesuatu, serta hak untuk mengenyam pendidikan. Ketiga hak tersebut merupakan kodrat manusia. Siapapun tidak boleh mengganggu dan harus dilindungi.[13]
Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia adalah makhluk Tuhan yang satu, memiliki derajat yang sama, apapun latar belakang kulturnya, dan karena itu memiliki penghargaan yang sama dari Tuhan yang harus dihormati dan dimuliakan. Maka, diskriminasi yang berlandaskan pada perbedaan jenis kelamin, warna kulit, kelas, ras, teritorial, suku, agama dan sebagainya tidak memiliki dasar pijakan sama sekali dalam ajaran Tauhid. Hanya tingkat ketaqwaan kepada Allah yang menjadi ukuran perbedaan kelak dihari pembalasan.[14]
Jika kita meneropong realitas sosial Indonesia, lebih‑lebih jika kita fokuskan pada kehidupan kaum perempuan, niscaya yang akan kita temukan adalah sebuah keprihatinan. Mengapa posisi kaum perempuan tidak menguntungkan? Memang, pada satu sisi kita bisa mengatakan bahwa realitas sosial yang tidak menguntungkan kaum perempuan tersebut terkait dengan terlalu dominannya budaya patriarki.
Oleh karena itu, memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan dalam konsepsi kemasyarakatan adalah penting. Salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas hidup dan mengangkat harkat martabat perempuan adalah pemberdayaan perempuan.
Terlibatnya perempuan Indonesia pada permasalahan non domestik muncul
pertamakali pada abad 19, dimana mereka memberi bantuan kepada suaminya melawan
belanda, seperti Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, dll. Kesadaran perempuan yang lebih
maju, mulai muncul ketika Kartini mempertanyakan hak-hak perempuan atas pendidikan dan
poligami. Sebagai pendidik generasi penerus bangsa, menurutnya perempuan harus
mendapat pendidikan yang cukup dan posisi yang tinggi di masyarakat. Ia juga menyerukan
gagasan nasionalisnya.
Dalam awal abad XX, seiring bermunculannya organisasi gerakan nasional,
perempuan juga mulai bergerak dengan organisasinya.
Namun sebagian besar dari mereka
hanyalah sayap dari organisasi gerakan, seperti wanita katolik, Aisyah dari Muhammadiyah,
Poetri Mardika dari Budi Utomo. Ada dua ciri yang sangat kental bagi gerakan perempuan
saat itu, yaitu ber
Dalam banyak hal sejarah gerakan perempuan Indonesia itu tidak terlepas dari
gerakan nasional. Setiap partai atau organisasi nasional berusaha membangun sayap
perempuanya sendiri, baik organisasi yang berhaluan nasionalis, Islam, maupun kiri.
Pada awalnya gerakan perempuan di Indonesia masih sangat lokalistik dan perhatian
pokok mereka sejalan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh organisasi-organisasi
perempuan di negeri-negeri lain ketika itu, misalnya pendidikan kaum perempuan. dan
masalah-masalah "kemasyarakatan" seperti pelacuran, permaduan, perkawinan anak-anak,
serta perdagangan perempuan den anak-anak. Perlu diperhatikan bahwa soal-soal seperti
sekarang hampir tidak memperoleh tempat di dalam kegiatan organisasi-organisasi
perempuan Indonesia. Sepak-terjang dan semangat para perempuan perintis ini mendapat
saluran pengucapannya yang penting melalui berbagai majalah yang mereka terbitkan.
Dengan jalan demikian mereka berusaha menyadarkan masyarakat, dalam jangkauan
terbatas kepada lapisan atas, tentang masalah-masalah yang dipandang sangat penting bagi
kaum perempuan Indonesia.
Kongres Perempuan Indonesia nasional pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada
bulan Desember 1928.
Hampir tiga puluh organisasi perempuan hadir pada kongres ini. Mosi
mengenai reformasi perkawinan dan pendidikan diterima. Tetapi, lagi-lagi ketegangan
timbul antara organisasi-organisasi perempuan Islam yang menentang koedukasi [lelaki den
perempuan bersekolah bersama-sama, dalam satu kelas] dan penghapusan poligini dengan
organisasi-organisasi perempuan nasional dan Kristen.
Dibentuk Persatoean Perempoean
Indonesia (PPI), yang merupakan federasi organisasi-organisasi perempuan Indonesia. Pada
tahun berikutnya nama federasi ini diubah menjadi Perikatan Perhimpoenan Istri Indonesia
(PPII). PPII menerbitkan majalah sendiri, sangat giat di bidang pendidikan, den membentuk
panitia penghapusan perdagangan perempuan dan anak-anak.
Satu-satunya organisasi
perempuan yang tidak hadir pada sidang-sidang nasional organisasi-organisasi perempuan yang tergabung dalam PPII ialah Isteri Sedar, yang didirikan tahun 1930. Isteri Sedar adalah
organisasi perempuan yang paling radikal pada zaman itu. Organisasi ini tidak mau
berkompromi mengenai masalah-masalah poligini dan perceraian, yang menimbulkan
perbedaan mendalam di antara organisasi-organisasi perempuan Islam den lain-lainnya.
Kongres Perempuan nasional berikutnya diadakan di Jakarta (1935), Bandung (1938),
dan Semarang (1941), dalam mana perjuangan nasional berangsung-angsur semakin
menonjol. Dalam kongres 1935 terbentuklah Kongres Perempuan Indonesia (KPI), dan
dengan demikian PPII dibubarkan. Perhatian tertentu ditujukan kepada kaum perempuan
dan golongan miskin, tetapi keanggotaan masih berasal dari lapisan atas, dan tuntutan yang
disuarakan pun sebagian besar masih diarahkan pada kepentingan kaum perempuan
golongan atas.
Gerakan Wanita Indonesia atau GERWANI adalah organisasi perempuan yang paling
besar dan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Oleh karena organisasi ini sangat
dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), maka terlebih dahulu saya perlu
mengemukakan sejarah singkat partai ini. PKI didirikan tahun 1920, dalam kerjasama erat
dengan sayap kiri dalam Sarekat Islam, sebuah organisasi Islam yang pada mulanya hanya
menyokong kepentingan dagang nasional. Pada 1926-1927 di berbagai penjuru negeri pecah
pemberontakan nasional, yang PKI terlibat di dalamnya. Penindasan kejam terhadapnya
mengakibatkan PKI menjadi sangat terpukul. Maka sekarang nasionalisme borjuis
dimungkinkan untuk berkembang, dan dalam tahun 1927 berdirilah sebuah partai nasionalis
bernama Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan Sukarno sebagai salah seorang
pemrakarsanya.
Karnpanye GERWANI tertuju pada beberapa masalah perkosaan di Jawa Barat dan
Bali. Organisasi ini juga melakukan agitasi untuk rnemberikan dukungan kepada lurah-lurah
perempuan. Beberapa orang perempuan telah terpilih menjadi lurah, tetapi tidak bisa
menjalankan jabatan karena hukum kolonial melarang kaum perempuan menduduki jabatan
semacam ini.
Tahun 1961 anggota organisasi mencapai lebih dari satu juta orang.
Cabang-cabang
didirikan di seluruh penjuru negeri. Kaum perempuan tertarik pada organisasi ini sematamata
oleh karena kegiatannya yang menyangkut kebutuhan sehari-hari mereka. Warungwarung
koperasi dan koperasi simpan-pinjam kecil-kecilan didirikan. Perempuan tani dan
buruh disokong dalam sengketa mereka dengan tuan tanah atau majikan pabrik tempat
mereka bekerja. Taman kanak-kanak diselenggarakan di pasar-pasar, perkebunanperkebunan,
kampung-kampung. Kaum perempuan dididik untuk menjadi guru pada
sekolah-sekolah ini.
Dibuka pula badan-badan penyuluh perkawinan untuk membantu kaum
perempuan yang menghadapi masalah perkawinan. Kursus-kursus kader dibuka pada
berbagai tingkat organisasi, dan dalam kursus-kursus ini digunakan buku-buku tutisan
Friedrich Engels, August Bebel, Clara Zetkin, dan Sukarno. Pada kesempatan ini juga
diajarkan keterampilan teknis, misalnya tata buku dan manajemen. Hal penting lain yang
diajarkan adalah sejarah gerakan perempuan Indonesia.
DAN KAMPANYE
PEREMPUAN MAHARDHIKA
Sudah sejak awalnya GERWANI sangat giat dalam membantu peningkatan kesadaran
perempuan tani, bekerja-sama dengan bagian perempuan BTI. Pada tahun 1961
diselenggarakan seminar khusus untuk membahas bersama persoalan mereka.
Belakangan
GERWANI juga membantu aksi-aksi sepihak pendudukan tanah yang dilancarkan oleh BTI,
dan menuntut agar hak atas tanah juga diberikan kepada kaum perempuan.
Di samping kegiatannya di tengah-tengah perempuan tani, GERWANI juga melakukan
serangkaian kegiatan lain yang menarik. Di antaranya adalah kampanye pemberantasan buta
huruf yang dimulai tahun 1955, perubahan undang-undang perkawinan yang lebih
demokratis, menuntut hukuman yang berat untuk perkosaan dan penculikan, dan kegiatankegiatan
sosial-ekonomi untuk kaum tani dan buruh perempuan.
Para aktivis GERWANI
melakukan kegiatan besar-besaran pemberantasan buta huruf di kalangan perempuan,
sekaligus mendidik para peserta mengenai masalah-masalah politik yang hangat pada
masanya, termasuk masalah-masalah perempuan. Bersama dengan kaum perempun dari
organisasi-organisasi lain, mereka saling membantu menyelenggarakan berbagai macam
kegiatan, baik di tingkat kampung, kota, maupun provinsi, mengenai soal-soal seperti
kesejahteraan keluarga, kesehatan, kebersihan, dan juga soal-soal yang lebih bersifat
"feminis" seperti pelacuran, perkawinan anak-anak, dan perdagangan perempuan.
Disediakan bantuan hukum, juga bantuan untuk korban banjir dan bencana alam lainnya.
Implikasi lain ialah bahwa organisasi sebenarnya belum pernah membahas secara
terbuka masalah-masalah seperti pembagian kerja seksual tradisional, walaupun sejumlah
kader telah berjuang menentang ketidak adilan yang cukup nyata pada tingkat perorangan.
Beberapa kader dengan tegas menyebutkan usaha mereka untuk mendidik anak-anak lakilaki
agar mau mengerjakan tugas-tugas rumah-tangga bersama-sama, dan suami juga
diharapkan mengerjakan pekerjaan rumah-tangga yang umumnya dipandang nyaris sebagai
tugas perempuan saja.
Sekitar 1964 dan 1965 GERWANI mengorganisasikan beberapa demonstrasi massa
yang sangat militan untuk memprotes laju inflasi dan kenaikan harga barang-barang
kebutuhan pokok seperti beras. Misalnya tahun 1965 banyak anggota GERWANI ikut serta
dalam demonstrasi yang berlangsung dengan kekerasan di Surabaya. Rumah gubernur rusak
berat akibat demonstrasi ini. Dalam tahun yang sama GERWANI telah menjadi organisasi
perempuan terbesar di Indonesia, dengan jumlah anggota sekitar 1,5 juta. Kaum intelektual,
guru, bidan, dan buruh, serta petani terhimpun di dalamnya.
Organisasi-Organisasi Perempuan "Orde Baru"
Untuk bisa mengerahkan dukungan massa guna kepentingan mengubah
pemerintahan, Jenderal Soeharto mengadakan rapat-rapat umum pemuda, pelajar, dan juga
kaum perempuan, KAWI, yang,sudah saya sebut di atas. Hampir semua musuh GERWANI
tergabung di dalamnya.
Seperti dikatakan oleh Ibu Baroroh Baried, Ketua Aisyah, kepada
saya: "Kami telah terlalu lama mendapat lampu merah. Dalam Orde Baru kami akhirnya
kembali mendapat lampu hijau." Hanya PERWARI yang tetap mempertahankan posisinya
sebagi "satu-satunya" organisasi perempuan.
Organisasi ini selalu berusaha mengelak dari masalah politik nasional. Sungguh menarik bahwa tidak ada satu organisasi perempuan pun
yang secara terbuka mencela pembunuhan kejam orang-orang GERWANI, yang selama
sepuluh sampai lima-belas tahun terakhir bekerja-sama dengan mereka.
Beberapa tahun
kemudian Wanita Katolik adalah organisasi yang pertama mengulurkan bantuan
kemanusiaan kepada, orang-orang GERWANI yang masih hidup dalam tahanan. Mereka
mengunjungi tempat-tempat penahanan, membantu kehidupan para tahanan dan para
korban.
Dalam tahun-tahun pertama sesudah kudeta, organisasi-organisasi perempuan telah
dibersihkan dari "unsur-unsur kiri." Misalnya, PERWARI, yang pada tahun-tahun terakhir
menjelang kudeta menghadapi banyak kesulitan, menarik sejumlah istri pejabat tinggi tokoh
nasional kiri dari kedudukannya sebagai anggota pengurus.
Dalam tahun 1966 mereka
dipaksa keluar atau mengundurkan diri dari organisasi. Demikian juga berangsung-angsur
PERWARI harus meninggalkan kegiatannya yang berhubungan dengan kepentingan kaum
perempuan miskin.
Selama dua puluh tahun terakhir ini organisasi-organisasi yang semula menyambut
"Orde Baru" pun menjadi kecewa. Lampu hijau bagi organisasi-organisasi Islam segera
berubah menjadi selalu kemerah-merahan. Mereka boleh menyelenggarakan pertemuanpertemuan
pengajian, boleh menjalankan "kegiatan amal" untuk perempuan miskin, bahkan
di tengah-tengah perempuan desa (dan hanya merekalah organisasi perempuan yang bisa
berbuat demikian selain organisasi-organisasi yang didirikan pemerintah.) Tetapi mereka
tidak boleh mengungkapkan hal-hal yang tidak adil yang terjadi di masa pemerintah
sekarang. Pada tahun 1978 PERWARI pun dipaksa untuk bergabung dengan resmi pada
partai pemerintah GOLKAR. Semua organisasi perempuan yang menyimpang dari garis-garis
yang telah dijabarkan oleh Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita, Departemen Sosial atau
Departemen Dalam Negeri, menghadapi risiko besar.
Organisasi-organisasi perempuan yang
"independen" telah kehilangan sebagian besar, jika tidak seluruh, kekuatan mereka.
Pemerintah telah menciptakan organisasi-organisasi perempuan yang baru, salah
satunya adalah pengelompokan berbagai organisasi perempuan istri pegawai negeri, yang
dikenal dengan nama Dharma Wanita (bagi istri pegawai negeri sipil) dan Dharma Pertiwi
(bagi istri yang suaminya bekerja di salah satu cabang angkatan bersenjata). Satu organisasi
lagi adalah untuk program kesejahteraan keluarga, yaitu PKK (Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga).
PKK didirikan 1957, sebagai program pendidikan untuk kesejahteraan keluarga. Dalam
pertengahan dasa-warsa 1960-an istri Gubernur Jawa Tengah saat itu, Ibu Munadi,
mempelopori pelaksanaan PKK sebagai bagian dari usaha pembangunan daerah. Sekarang
ini PKK terbentuk di seluruh Indonesia. Kegiatannya diperluas sehingga mencakup semua
program pemerintah yang ditetapkan untuk kaum perempuan. Tanggung-jawab mengenai
program-program PKK ada di tangan Menteri Dalam Negeri. Istri Menteri Dalam Negeri
secara resmi menjadi Ketua PKK, sedang suaminya menjadi "penasehat." Program ini
dikoordinasikan melalui, Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita. Selain Aisyah, PKK adalah
satu-satunya organisasi yang diperbolehkan bergerak di tingkat desa.
Struktur organisasinya bersifat hirarkis ketat. Di tingkat desa istri lurah menjadi Ketua PKK, tidak perduli apakah ia
mampu dan berminat melakukan tugas itu atau tidak. Pola ini berlaku di setiap tingkat
birokrasi yang lebih tinggi. Organisasi diawasi ketat oleh pemerintah, sehingga pidato-pidato
para pimpinannya pun ditulis oleh Departemen Dalam Negeri.
Penutup
Berbeda dari apa yang terjadi di berbagai negeri Dunia Ketiga lain, dimana gerakan
perempuan giat di kalangan rakyat jelata (misalnya di India, Karibia, Meksiko, dan Peru), di
Indonesia dewasa ini gerakan perempuan masih terbatas pada lapisan menengah dan atas
masyarakat. Kalau pun perempuan miskin terkait di sana, mereka umumnya sebagai obyek
politik tertentu belaka, seperti misalnya dalam program keluarga berencana, dan tidak
menjadi peserta yang berperan aktif. Keluh-kesah apapun yang diungkapkan sehubungan
dengan situasi sosial dan ekonomi yang sulit, dan terutama mengenai bagaimana
hubungannya dengan subordinasi kaum perempuan, akan dicap sebagai berpolitik. Keluh
kesah demikian berimplikasi semangat kiri, dan "kiri" dalam hubungan dengan "kaum
perempuan" akan menimbulkan berbagai kesulitan yang disangkutpautkan dengan pestapora
seks dan upacara pembunuhan.
Demikianlah rezim militer menggunakan simbol-simbol
tersebut untuk menciptakan pembenaran bagi kelangsungan tindakan represinya, tidak saja
terhadap kaum perempuan tetapi juga terhadap golongan tertindas lainnya. Inilah salah satu
alasan penting mengapa di Solo saya tidak bisa berhubungan dengan satu organisasi
perempuan pun yang bisa saya ajak bekerja-sama dan memberikan pendapat mengenai
hasil-hasil penelitian yang saya peroleh dari para perempuan buruh batik.
Dari sudut politik, organisasi-organisasi perempuan, seperti halnya semua organisasi
massa, telah kehilangan kekuatan atau pengaruhnya yang pernah dimiliki selama periode
perjuangan kernerdekaan nasional atau selama tahun-tahun pertama republik merdeka di
bawah pemerintahan Presiden Sukarno.
Hilangnya pengaruh ini terjadi ketika perjuangan
kemerdekaan nasional akhirnya selesai, dan partai-partai besar di Indonesia berhasil
memperoleh kekuasaan politik di negeri ini.
Untuk sementara waktu Indonesia pernah sangat radikal, tetapi terutama dalam
politik internasional anti-imperialisnya, bukannya politik nasional dalam negeri.
Dalam hal ini
Angkatan Darat dan partai-partai Islam reaksioner berhasil menggagalkan setiap usaha
untuk memperluas pembebasan atau emansipasi golongan-golongan lain selain kaum lakilaki
yang berkuasa. Sesudah perebutan kekuasaan tahun 1965, ditegakkanlah suatu
pemerintahan birokratik-militer yang kuat, yang dengan efektif menindas dan
menghancurkan semua gerakan kiri, termasuk organisasi massa perempuan, GERWANI.
Dewasa ini organisasi perempuan diawasi dengan ketat, dan mutlak harus menjalankan
politik pemerintah.
Seperti kebanyakan organisasi perempuan di berbagai negeri lain di dunia, gerakan
perempuan Indonesia pada paruh pertama abad ini mendapatkan sebagian besar
anggotanya dari kalangan perempuan elit. Perjuangan untuk reformasi undang-undang
perkawinan terutama merupakan kepentingan kaum perempuan kalangan elit priyayi (bangsawan birokrat Jawa), dan golongan-golongan borjuasi masa sekarang. Namun
demikian sebelum pendudukan Jepang, yang diteruskan pada masa Presiden Sukarno,
dilakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk kepentingan kaum perempuan miskin juga.
Kegiatan ini terutama dilakukan oleh GERWANI dan Wanita Marhaen. Sekarang, organisasi
perempuan "independen" yang punya hubungan yang berarti dengan golongan miskin
masyarakat Indonesia nyaris hanya organisasi perempuan Islam Aisyah saja.
Namun
golongan ini tidak diperbolehkan menyuarakan tuntutan sosial atau ekonomi apapun, selain
yang bersifat amal. Selama itu, pandangan Aisyah mengenai peranan kaum perempuan
dalam masyarakat agak kuat dipengaruhi oleh ajaran laki-laki Islam ortodoks; misalnya
mereka tidak pernah memperjuangkan salah satu di antara masalah paling penting gerakan
perempuan di Indonesia, penghapusan poligini.
Melalui organisasi-organisasi istri dan PKK, kaum birokrat militer yang berkuasa
berusaha menguasai kaum perempuan dan laki-laki lapisan bawah dalam hirarki
pemerintahan di Indonesia. Anggota-anggota lapisan bawah dan berusia muda dalam
organisasi-organisasi ini sering merasa jengkel karena harus ikut serta dalam kegiatan karena
mereka hampir-hampir tidak punya pengaruh apapun pada apa yang terjadi dalam
organisasi. Namun demikian, mereka dibebani tekanan sosial yang berat, juga melalui suami
mereka, untuk hadir dalam rapat-rapat dan ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan.
Pada pihak lain, bagi kaum perempuan elit dan pimpinan organisasi perempuan,
peran-serta mereka punya fungsi sosial tertentu. Status sosial mereka dipertinggi dan
diperkokoh, dan mereka satu sama lain punya segala macam kontak sosial. Bagi sebagian
besar mereka bahkan juga punya fungsi ekonomi: perdagangan batik dan perhiasan yang
sangat sangat menguntungkan berlangsung di kalangan elit perempuan Indonesia ini.
Banyak istri pegawai yang bergaji kecil berusaha membantu menambah pendapatan sang
suami dengan cara ini.
Pada pihak lain istri para pengusaha kaya, melalui hubungan mereka
dengan perkumpulan-perkumpulan perempuan tingkat atas itu kadang-kadang bisa
mendapatkan pertolongan tertentu di tengah-tengah belantara birokrasi, untuk
kelangsungan usaha dagangnya sendiri atau usaha dagang suami.
Dengan demikian melalui kombinasi pengukuhan subordinasi kaum perempuan
secara terorganisasi dan rezim kapitalis militer yang represif, kaum perempuan di semua
lapisan masyarakat Indonesia itu dikontrol. Bentuk struktur hirarkis organisasi-organisasi
perempuan di Indonesia dewasa ini memudahkan pengekangan kaum perempuan miskin.
Karena itu "kuntilanak wangi," sebutan populer untuk organisasi-organisasi istri itu, menjadi
alat penindas terhadap sesama saudari yang miskin, dan bukannya membantu mereka, yang
sekaligus memperkokoh subordinasi para anggota mereka sendiri.
Kaum perempuan Indonesia selalu berperan aktif di dalam proses produksi sosial.
Karena itu dirasa sangat layak bahwa kaum perempuan harus dengan secara terorganisasi
dilibatkan dalam segala macam kegiatan yang bersangkutan dengan fungsi kaum
perempuan dalam masyarakat. Lagi pula, di masa lalu yang belum lama berselang, kaum
perempuan berorganisasi dalam skala besar-besaran untuk memperjuangkan kepentingan
yang mereka rumuskan sendiri. Kepentingan-kepentingan ini tidak didukung oleh kaum laki-
PEREMPUAN MAHARDHIKA
laki pemegang kekuasaan dalam masyarakat dewasa ini. Karena itu kepentingan umum
perempuan harus dirumuskan kembali, dan kaum perempuan harus disubordmasikan
kembali. Dan adakah struktur yang lebih baik untuk resubordinasi kaum perempuan selain
organisasi-organisasi perempuan?
Sejarah Gerakan Perempuan di Dunia
Sejarah telah mencatat bahwa kaum perempuan telah mengalami kenyatan pahit dari zaman dahulu hingga sekarang ini. Mereka dianggap sebagai kaum yang tidak berdaya, lemah dan selalu menjadi yang “ke-2″. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil diterima oleh kaum perempuan. Kaum perempuan kemudian mencoba berjuang untuk mendapatkan hak mereka sebagai manusia. Mulai dari hal yang sangat kecil yaitu diskrimnasi di lingkungan hingga berbagai permasalahan lainya seperti hak politik, permasalahan ekonomi dan isu lainnya.
Tidak banyak memang buku sejarah yang mencatat sehingga agak sulit untuk mengetahui secara pasti. Dibawah ini adalah beberapa gerakan perempuan diberbagai belahan dunia.
Amerika
Gerakan perempuan di Amerika mulai muncul dipertengahan abad ke-19. Emansipasi persamaan hak serta penghapusan diskriminasi terhadap kaum perempuan menjadi tuntutannya. Tuntutan inilah yang kemudian menjadi dasar dari gerakan perempuan yang pada masa kini dikenal dengan feminisme.
Gerakan perempuan di Amerika mulai muncul dipertengahan abad ke-19. Emansipasi persamaan hak serta penghapusan diskriminasi terhadap kaum perempuan menjadi tuntutannya. Tuntutan inilah yang kemudian menjadi dasar dari gerakan perempuan yang pada masa kini dikenal dengan feminisme.
Pada 19 – 20 Juli 1848, sebuah konvensi diadakan oleh Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton. Konvensi ini membahas tentang hak sosial, sipil dan agama kaum perempuan. Konvensi ini kemudian menghasilkan satu deklarasi yang dikenal sebagai deklarasi yang dinamakan “The Declaration of Sentiment”. Dardari konvensi ini, usaha mereka kemudian berlanjut dengan membentuk National Women Suffrage Association (NWSA) yang mengajukan amandemen pada konstitusi untuk hak suara bagi kaum perempuan. Dalam waktu yang bersamaan, sebuah wadah lainnya terbentuk dengan nama American Women Suffrage Association (AWSA). Tujuan mereka sebenarnya sama, yaitu memperjuangkan hak suara bagi kaum perempuan untuk ikut memilih.
Selain memperjuangkan tentang hak suara, gerakan perempuan Amerika pada masa itu mulai bergabung dengan organisasi-organisasi sosial. Walaupun anggotanya masih berasal perempuan kelas menengah keatas. Perkembangan ini diikuti oleh munculnya berbagai kelompok perempuan yang mengangkat berbagai isu. Pada tahun 1874, dibentuk The Women’s Trade Union League dan The Women’s Temperance Union (WTCU). Mereka merupakan gerakan anti minuman keras. Kemudian pada tahun 1894, berdiri sebuah kelompok, General Federation of Women’s (GFW) berdiri di Amerika. GFW memperjuangkan berbagai permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Tidak terbatas hanya pada permasalahan diskriminasi terhadap perempuan saja, tetapi juga kehidupan remaja dan masalah perburuhan serta berbagai permasalahan sosial lainnya.
Seiring dengan memasuki abad ke-20, gerakan perempuan di Amerika mulai menjalin kerja sama dengan gerakan perempuan lainnya. Kerja sama ini dilakukan untuk saling memperkuat mereka dalam menyuarakan isu mereka. Salah satu kemenangan kecil kaum perempuan di Amerika pada awal abad 20 adalah diterimanya amandemen XIX (Sembilan belas). Amandemen tersebut merupakan amandemen terhadap Undang-undang yang menjamin hak suara bagi semua orang dewasa tanpa membedakan jenis kelaminnya.
Kondisi kehidupan yang tertekan dapat menumbuhkan kesadaran kaum perempuan terhadap kemampuannya. Kesadaran akan kemampuan perempuan tidaklah berbeda dengan laki-laki mulai muncul pada tahun 1940. Hal ini juga tidak bisa dipisahkan dari terjadinya Perang Dunia II. Selama perang tersebut, lebih dari 6 juta perempuan harus bekerja diberbagai sektor yang selama ini di kerjakan oleh laki-laki. Momen ini membuat mereka menyadari bahwa mereka juga mampu bekerja diberbagai sektor yang selama ini di dominasi oleh laki-laki
Sekitar tahun 1970, isu gerakan perempuan berkembang mulai maju selangkah. Mereka kemudian mengangkat permasalahan diskriminasi seksual yang terjadi pada kaum perempuan. Tuntutan akan persamaan hak dan keadilan sosial bagi perempuan tidak berjalan sendiri, seiring dengan itu, Martin Luther King, Jr. memperjuangkan penghapusan diskriminasi rasial di Amerika. Akhinya mereka kemudian melakukan desakan bersama dan mendapat dukungan yang sangat besar dari masyarakat Amerika. Akibat desakan tersebut Kongres Amerika mengeluarkan satu rancangan undang-undang, yaitu Equal Rights Amendement (ERA). Namun, dalam perjalanan ERA gagal menjadi amandemen karena tidak mencapai 2/3 suara dari 35 negara.
Cile
Baru pada awal tahun 1900 gerakan perempuan di Cile mulai terlihat. Gerakan feminis yang terjadi di Amerika dan Eropa Barat turut mempengaruhi ide dan konsep dari gerakan perempuan di Cile pada masa tersebut. Kemudian dalam perkembangannya terdapat dua model gerakan yang berkembang;
Baru pada awal tahun 1900 gerakan perempuan di Cile mulai terlihat. Gerakan feminis yang terjadi di Amerika dan Eropa Barat turut mempengaruhi ide dan konsep dari gerakan perempuan di Cile pada masa tersebut. Kemudian dalam perkembangannya terdapat dua model gerakan yang berkembang;
Pertama, gerakan perempuan yang memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum perempuan. Gerakan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran dari Amerika dan Eropa serta bergerak dibidang politik. Gerakan ini pada tahun 1919, mendirikan satu partai politik yaitu El Partindo Civico Femenino. Pada mulanya, gerakan ini hanya diikuti oleh perempuan kelas atas. Namun dalam perkembangannya, kira-kira pada tahun 1920-an, banyak masyarakat menengah yang menjadi anggotanya.
Kedua, gerakan perempuan proletariat. Rata-rata anggota gerakan ini berasal dari berbagai kalangan militan, anggota serikat buruh, istri kalangan pekerja , buruh tani, atau buruh tambang. Beberapa kelompok diantaranya merupakan bagian dari partai politik yang berhaluan kiri. Pada pertengahan 1930, mereka mendirikan Gerakan untuk Emansipasi Perempuan Cile (Movimiento Pro Emancipacion de la Mujer Chilena). Pada 1945, mereka kemudian mendirikan Partai Feminis didirikan di Cile. Salah satu tuntutan mereka adalah hak pilih universal dan usaha tersebut berhasil.
Seiring dengan terjadinya kudeta militer yang dilakukan oleh Jendral Pinochet pada 1973, gerakan perempuan di Cile juga mengalami kehancuran. Pemerintah Cile mengeluarkan berbagai kebijakan yang merugikan kaum perempuan yaitu ideologi tradisional “menjadi ibu” (Motherhood) digalakkan. Pemerintah menghambat kaum perempuan untuk terjun dalam dunia kerja dan politik dengan berbagai cara. Mulai dari Undang-undang yang diskriminatif hingga berbagai cara lainnya.
Gerakan perempuan ternyata dimanfaatkan dengan baik oleh rejim otoriter. Pemerintah kemudian membentuk berbagai kelompok perempuan yang tidak lain bertujuan untuk mengontrol kegiatan kaum perempuan diberbagai sektor. Salah satunya adalah Centros de Madres (CEMAs). Kemudian untuk perempuan sipil, dibentuk Secretaria Nacional de la Mujer (Seketariat Nasional untuk Perempuan). Langkah ini benar-benar sangat efektif untuk rejim otoriter.
Tindakan pengekangan terhadap masyarakat di Cile dan meningkatnya krisis ekonomi yang dialami oleh Pemerintahan Cile telah menimbulkan perlawanan. Perjuangna kaum perempuian di Cile jika dilihat dari isu yang diangkat terbagi atas tiga gerakan. Gerakan pertama adalah yang menyoroti tentang permasalahan sosial ekonomi Cile. Krisis ekonomi paling dirasakan oleh kaum miskin kota, terutama kalangan perempuan. Kedua, gerakan Hak Asasi Manusia (HAM). Gerakan ini dapat dikatakan muncul dikarenakan rejim militer dibawah pimpinan Pinochet yang melakukan penghilangan secara paksa terhadap masyarakat Cile yang vokal. Pada tahun 1974 dan 1975, perempaun dari keluarga yang menjadi korban penghilangan paksa tersebut membentuk Agrupacion de Familiares de Detenidos-Desperacidos (Asosiasi Keluarga Tahan dan Orang Hilang)
Mulai awal tahun 80-an hingga saat ini, gerakan perempuan mulai mengangkat permasalahan diskriminasi dan ketidaksetaraan gender. Beberapa kelompok perempuan pada masa tersebut ; Movimento Feminista (gerakan Feminis) dan Frente de Liberacion Feminino (Front Pembebasan Perempuan)
Filipina
Gerakan perempuan di Filipina baru terlihat pada tahun 70-an. Sebelumnya tidak didapatkan informasi atau data tentang gerakan perempuan pada masa tersebut. Krisis ekonomi yang mulai terasa pada tahun 1979 telah membangkitkan kesadaran kaum perempuan untuk melakukan perlawanan. Berbagai cara dan isu yang mereka angkat dalam melakukan perlawanan.
Gerakan perempuan di Filipina baru terlihat pada tahun 70-an. Sebelumnya tidak didapatkan informasi atau data tentang gerakan perempuan pada masa tersebut. Krisis ekonomi yang mulai terasa pada tahun 1979 telah membangkitkan kesadaran kaum perempuan untuk melakukan perlawanan. Berbagai cara dan isu yang mereka angkat dalam melakukan perlawanan.
Organisasi perempuan Filipina yang paling terkenal adalah General Assembly Binding Women For Reforms, Integrity, Leadership, dan Action (GABRIELA). Kelompok ini merupakan koalisi dari 42 organisasi dan 50.000 orang anggota perempuan. Koalisi ini didirikan pada tahun 1984 dan namanya diambil dari pimpinan pemberontakan pada Abad ke-19, Gabriela Silang. Dasar perlawanan mereka adalah ketertindasan mereka sebagai rakyat Filipina dan perempuan yang mengalami penindasan dan eksploitasi karena jenis kelamin.
Tidak jauh berbeda dengan gerakan perempuan di negara lain, tuntutan mereka dibidang politik adalah mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam berpartisipasi dalam dunia politik. Di bidang kebudayaan, tuntutan kesetaraan dan akses yang sama dalam pendidikan di semua tingkat dan dalam semua bidang. Tetapi yang paling mendasar adalah permasalahan di dalam rumah tangga, kesetaraan dalam pengambilan keputusan, hak milik serta membesarkan anak-anak.
Isu yang diangkat oleh koalisi ini sangat beragam. Tidak hanya tentang permasalahan gender, tepai juga tentang militerisasi, krisis ekonomi, globalisasi hingga pangkalan militer Amerika. Ini kemudian berhubungan dengan masalah kehadiran militer Amerika yang sangat dominan di Filipina.
Ketika Benigno Aquino tewas terbunuh pada Agustus 1983, GABRIELA melakukan protes terhadap pemerintah. Aksi massa terus dilakukan secara marathon di Filipina. Tercatat sekitar 200 aksi dalam tempo 8 bulan yang di gerakkan oleh GABRIELA. Pada tahun 1985, mereka melakukan aksi massa lainnya dengan mengangkat permasalahan buruh perempuan.
Kemenangan Corazon Aquino dalam pemilihan presiden tidak dapat dipisahkan dari GABRIELA. Secara tidak langsung koalisi ini sangat berjasa dalam menggulingkan kediktatoran Presiden Marcos. Tidak sampai disitu, mereka dapat menyatukan seluruh kelas masyarakat mulai dari bawah hingga ke tinggak elit. Merekalah yang melakukan revolusi damai di Filipina
Australia
Kedatangan bangsa Eropa ke Benua Australia dimulai tahun 1788. Sebahagian dari mereka adalah orang buangan dari Eropa. Kaum perempuan Inggris mulai masuk ke Australia pada tahun 1830. Pada 1883, Inggris memasuki Australian dan menjadikannya koloni. Suku Asli Australia, Abrorigin mengalami penindasan dan dikriminasi terutama kaum wanita.
Kedatangan bangsa Eropa ke Benua Australia dimulai tahun 1788. Sebahagian dari mereka adalah orang buangan dari Eropa. Kaum perempuan Inggris mulai masuk ke Australia pada tahun 1830. Pada 1883, Inggris memasuki Australian dan menjadikannya koloni. Suku Asli Australia, Abrorigin mengalami penindasan dan dikriminasi terutama kaum wanita.
Pada awalnya, kaum pendatang dan Aborigin terjadi kesalah pahaman yang berkepanjangan. Namun, dalam perkembangannya kaum perempuan imigran dan perempuan Aborigin berhasil menyatukan konsep sisterhood. Mereka saling bertukar jasa, perempuan kulit putih mengajarkan baca-tulis kepada perempuan aborigin. Sedangkan perempuan Aborogin menjaga dan mengasuh anak-anak mereka.
Tidak jauh berbeda dengan di Amerika, pada awalnya kaum perempuan menuntut hak perempuan kulit putih dalam pemilihan umum. Salah satu organisasi perempuan yang pertama di Australia adalah Woman’s Christian Temperance Union (WCTU). Mereka menuntut amandemen terhadap hak pilih perempuan. Akhirnya, pada 1902 amandemen tersebuit disahkan oleh pemerintah Australia. Tidak hanya permasalahan tersebut tetapi ada beberapa hal lainnya yang berkisal di perubahan sosial dan stabilitas ekonomi.
Pada tahun 1970, isu yang diangkat mulai berkembang ke permasalahan rasisme. Perempuan Aborigin dan kulit putih bersama menuntut persoalan dan peraturan yang diskriminatif terhadap kaum Aborigin. Tidak sampai disitu saja, mereka menuntut persamaan dalam dunia politik. Wajar saja, pada tahun 1978, parlemen Australia sangatlah maskulin (mayoritas laki-laki). Perubahan tersebut baru dirasakan pada sekitar 1989, dimana para perempuan telah menempati berbagai posisi di dunia politik.
0 komentar:
Posting Komentar