Rabu, 16 Maret 2016
Home »
» Sejarah Istilah “Marhaen” yang Diambil dari Nama Petani Bandung
Sejarah Istilah “Marhaen” yang Diambil dari Nama Petani Bandung
“Marhaen” menjadi salah satu ungkapan penting dalam sejarah politik Indonesia. Kata itu pertama kali dicetuskan dan juga dipopulerkan oleh Presiden Pertama RI, Ir. Sukarno. Gaungnya bahkan tak pernah henti hingga kini. Ia menjadi semacam ideologi tentang keberpihakan pada rakyat bawah, wong cilik.
Namun, sejarah “Marhaen” ternyata cukup sederhana. Ia hanya nama seorang petani sederhana yang ditemui Bung Karno secara tak sengaja saat ia sedang bolos kuliah dan berkeliling Bandung dengan sepedanya. Seperti dikisahkannya sendiri dan diabadikan oleh Cindy Adams dalam “Penyambung Lidah Rakyat”, saat itu (sekitar tahun 1921, saat umur Bung Karno 20 tahun) Bung Karno menemukan seorang petani berbaju lusuh yang sedang bekerja di sawah dengan luas kurang dari sepertiga hektar. Bung Karno kemudian menghampiri dan menyapa petani yang sedang sibuk bekerja itu, lalu bertanya:
“Siapa pemilik sawah ini?” tanya Bung Karno.
“Saya juragan. Ini tanah turun temurun. Diwariskan dari orang tua,” jawab petani itu.
“Lalu bajak dan cangkul itu, apa punyamu?” lanjut Bung Karno.
“Iya, gan.”
“Lalu hasilnya untuk siapa?” tanya Bung Karno lagi.
“Untuk saya gan, hasilnya hanya cukup untuk hidup sehari-hari,” kata petani itu.
“Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Dia menyebut namanya: Marhaen. Marhaen adalah nama umum seperti Smith dan Jones. Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia. Semenjak saat itu, aku namakan rakyatku: Marhaen,” kata Bung Karno.
“Seorang Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada pengisapan tenaga seorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik,” kata Bung Karno.
“Perkataan Marhaenisme adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional kami,” kata Bung Karno lantang.
Bung Karno memberi penekanan bahwa marhaen adalah “kaum melarat Indonesia”. Artinya, meskipun ia pemilik produksi kecil, tetapi ia hidup sangat melarat. Tentu, seperti kata Bung Karno, ia tak hanya berlaku bagi petani, tapi semua jenis pekerjaan: tukang gerobak, misalnya yang disebut juga ole Bung Karno. Itu berbeda dengan “proletar” yang saat itu istilah tersebut sudah ada dan populer. Sebab, proletar berarti orang yang tidak punya hasil produksi dan, karena itu, menjual tenaga kerjanya pada orang lain/majikan dan ia menerima upah dari menjual tenaga kerjanya itu.
Namun, dalam perkembangannya, Soekarno mulai memasukkan proletar sebagai bagian dari Marhaen Indonesia. Pada tahun 1960-an, Soekarno menyebut kaum Marhaen itu terdiri dari tiga unsur: unsur kaum miskin proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani melarat Indonesia, dan unsur kaum melarat Indonesia lainnya.
#Hidup Mahasiswa!!!
0 komentar:
Posting Komentar